24 September 2009

Penerbitan Perppu Pelaksana Tugas

Kamis, 24 September 2009 | 02:43 WIB

Hikmahanto Juwana

Menarik menyimak kejadian 22 September, terkait penerbitan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang memungkinkan Presiden secara sepihak menunjuk pelaksana tugas pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi.

Semula Detik.com, pukul 10.18 WIB, mengutip Direktur Perundang-undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Suharyono, perppu telah ditandatangani presiden. Bahkan, berita pukul 10.44, Suharyono menyebutkan Lembaran Negara Perppu itu ialah LN 132 TLN 5051 19 9 2009. Namun, pukul 12.18, Suharyono meralat dan mengatakan Presiden belum menandatangani perppu.

Bermasalah

Tanpa memperdebatkan apakah saat ini terjadi kegentingan sehingga memaksa presiden menerbitkan perppu, tetapi ada tiga alasan mengapa penerbitan perppu itu bermasalah.

Pertama, pengeluaran perppu dilakukan untuk mengamandemen Pasal 33 UU No 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Pasal 33 Ayat 1 mengamanatkan, bila terjadi kekosongan pimpinan KPK, Presiden mengajukan calon anggota pengganti kepada DPR. Ayat 2 menentukan prosedur pengajuan dan pemilihan harus melalui prosedur perekrutan pimpinan KPK. Prosedur ini dilakukan melalui pembentukan panitia seleksi (pansel) hingga penentuan oleh DPR.

Dalam konteks ini, muncul pertanyaan, apakah terjadi ”kekosongan” pimpinan KPK?

Apakah perppu akan mengamandemen kata ”kekosongan” sehingga menjadi ”dalam hal terjadi pimpinan KPK tersisa dua anggota, presiden dapat menunjuk pelaksana tugas pimpinan KPK tanpa mengikuti prosedur seperti diatur Pasal 29, 30, dan 31 undang-undang ini”?

Kedua, substansi perppu berpotensi mencederai semangat UU No 30/2002. Bila dicermati, UU menghendaki adanya independensi lembaga KPK, termaktub dalam konsiderans, batang tubuh maupun penjelasan. Independensi yang dimaksud mencakup struktur lembaga, fungsi, dan perekrutan pimpinan KPK. Tentu independensi tak dapat diartikan KPK lembaga super.

Dalam perekrutan tidak hanya presiden yang menentukan, tetapi diawali pansel, lalu diakhiri penentuan oleh DPR. Bahkan, komposisi pansel, tegas disebutkan UU, harus terdiri unsur pemerintah dan masyarakat. Independensi ini penting karena pada masa lampau sejumlah lembaga antikorupsi gagal karena independensinya terganggu.

Terakhir, penerbitan perppu tidak memerhatikan proses hukum yang terjadi di tingkat kepolisian. Penetapan dua tersangka pimpinan KPK oleh polisi tidaklah solid. Polisi terkesan memaksakan pasal yang dituduhkan kepada dua tersangka.

Penyalahgunaan wewenang oleh polisi untuk menyangka amat lemah. Alasannya, dasar sangkaan bukan penyalahgunaan wewenang yang berindikasi korupsi, tetapi kesalahan prosedur pelaksanaan wewenang pencekalan yang dimiliki KPK.

Dalam sejumlah kesempatan, polisi menyampaikan, dua unsur pimpinan KPK—Chandra dan Bibit—dianggap tidak memenuhi prosedur rapat dengan semua anggota KPK dalam penetapan pencekalan terhadap Anggoro dan Djoko Tjandra.

Salah prosedur dalam proses penegakan hukum memang kerap terjadi. KPK bukan satu-satunya dan pertama kali. Polisi, jaksa, hakim, atau aparat penegak hukum lain kerap dimasalahkan.

Dalam konteks penetapan dua pimpinan KPK, aneh jika polisi yang mempermasalahkan. Aneh karena polisi seolah menjadi LSM atau pengacara bagi Anggoro maupun Djoko. Lebih aneh lagi, polisi menggunakan kewenangannya, sesuatu yang tak dimiliki LSM maupun pengacara.

Upaya lain

Penerbitan perppu bermasalah akan menjadi simalakama bagi DPR. Menurut konstitusi, perppu wajib disampaikan kepada DPR untuk ditolak atau disetujui menjadi UU. Bila ditolak, keabsahan semua yang telah diputus pimpinan KPK akan dipertanyakan legitimasinya. Bila setuju, berarti ada pelanggengan penentuan sepihak oleh Presiden. Konsekuensinya, dalam tubuh pimpinan KPK ada yang direkrut secara independen dan ditunjuk presiden. Kondisi ini berpotensi menjadi kekisruhan dalam pengambilan keputusan. Mereka yang ditunjuk presiden akan berhadapan dengan yang direkrut independen.

Presiden sebenarnya mempunyai sejumlah opsi di luar penerbitan perppu. Presiden dapat meminta kepolisian agar mempercepat proses hukum terhadap dua anggota KPK sehingga dalam waktu singkat diketahui status mereka. Presiden juga dapat meminta kepolisian menggelar perkara yang diikuti para ahli independen guna menentukan ada tidaknya unsur pidana dari dua tersangka pimpinan KPK.

Di luar perppu, presiden memiliki banyak opsi. Satu hal yang tak diharapkan menjelang dilantik sebagai presiden untuk masa jabatan kedua, jangan sampai popularitas dan legitimasi menurun.

Hikmahanto Juwana Anggota Panitia Seleksi Pimpinan KPK 2007-2011; Guru Besar Ilmu Hukum UI

Tidak ada komentar: