24 September 2009

Bahaya Perppu Pimpinan KPK

Kamis, 24 September 2009 | 03:37 WIB

Saldi Isra

Meski muncul banyak kritik, Presiden Yudhoyono tetap mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.

Tindakan ini guna menerobos Pasal 33 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dengan langkah itu, Presiden Yudhoyono berwenang mengisi dan menetapkan pejabat sementara pimpinan KPK. Bagaimana menjelaskan penerbitan perppu itu dalam kaitan eksistensi KPK sebagai lembaga independen?

Tidak kuat

Secara konstitusional, perppu diakui sebagai salah satu bentuk perundang-undangan. Pasal 22 UUD 1945 menentukan: (1) dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang; (2) peraturan pemerintah itu harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam persidangan yang berikut; (3) jika tidak mendapat persetujuan, peraturan pemerintah itu harus dicabut.

Sesuai dengan ketentuan itu, perppu merupakan hak darurat presiden untuk menerbitkan peraturan pemerintah dengan substansi sama dengan undang-undang. Peraturan itu perlu diadakan guna menjamin keselamatan negara dalam keadaan genting yang memaksa pemerintah bertindak cepat. Karena itu, pro-kontra selalu mengiringi kehadiran perppu.

Terkait dengan hal itu, Van Dullemen (1947) dalam Staatsnoodrecht en Democratie (Mahfud MD, 2006) menyebutkan empat syarat yang membenarkan hadirnya hukum darurat: (1) eksistensi negara tergantung tindakan darurat; (2) tindakan itu amat diperlukan dan tidak bisa digantikan yang lain; (3) bersifat sementara (berlaku sekali dalam waktu singkat untuk sekadar menormalkan keadaan); (4) saat tindakan diambil, parlemen tidak dapat bersidang secara nyata dan sungguh- sungguh.

Jika dikaitkan dengan perppu yang baru diterbitkan, sulit membuktikan adanya keadaan darurat di KPK dengan status tersangka Chandra M Hamzah dan Bibit S Rianto. Meski pimpinan tinggal dua orang, KPK masih dapat melaksanakan tugas. Bagir Manan (2004) menegaskan, ”hal ihwal kegentingan yang memaksa” merupakan syarat konstitutif yang menjadi dasar wewenang presiden menetapkan perppu. Jika tidak dapat menunjukkan syarat nyata keadaan itu, presiden tidak berwenang menetapkan perppu.

Bahaya perppu

Sebagai lembaga independen, kehadiran perppu menyimpan banyak bahaya bagi masa depan KPK.

Pertama, meneguhkan tindakan kriminalisasi atas pimpinan KPK. Dalam ”Lanjutkan (Membunuh) KPK” (Kompas, 14/7), saya pernah mengemukakan langkah sistemik kepolisian yang mengarah pada kriminalisasi pimpinan KPK. Dari rangkaian tindakan, sepertinya kepolisian sudah punya kesimpulan jauh hari sebelum pemeriksaan pimpinan KPK. Karena itu, meski bukti tidak cukup kuat, Chandra dan Bibit tetap dijadikan tersangka.

Dengan tindakan yang seolah dipaksakan itu, wajar muncul banyak spekulasi. Salah satu spekulasi, tindakan atas pimpinan KPK terkait skandal Bank Century. Sepanjang yang bisa diamati, upaya kriminalisasi itu terasa kian intensif saat pimpinan KPK mulai menyentuh sejumlah ketidakwajaran yang dilakukan dalam penambahan modal Bank Century yang mencapai Rp 6,76 triliun.

Kedua, kehadiran perppu juga dapat dibaca sebagai isyarat Presiden Yudhoyono kepada kepolisian untuk segera melimpahkan kasus hukum dua unsur pimpinan KPK ke pengadilan. Dengan pelimpahan itu, status hukum Chandra dan Bibit akan berubah dari tersangka menjadi terdakwa. Dengan status hukum baru itu, sesuai dengan Pasal 32 Ayat (1) Huruf c, kedua unsur pimpinan KPK itu segera diberhentikan presiden.

Ketiga, memberi kewenangan presiden untuk menunjuk langsung pimpinan KPK dapat dikatakan sebagai penyimpangan dalam pengisian komisioner sebuah lembaga independen. Salah satu karakter lembaga independen, proses pengisiannya tidak boleh dilakukan oleh satu institusi.

Sadar atau tidak, semangat itulah yang dibangun dalam UU No 30/2002 sehingga pengisian pimpinan KPK melibatkan lembaga lain di luar eksekutif, yaitu DPR. Semangat itu tidak hanya dalam proses pengisian awal masa jabatan pimpinan KPK, tetapi juga jika terjadi pengisian komisioner di tengah masa jabatan karena berhenti atau diberhentikan. Tujuannya agar independensi KPK tetap dapat dijaga sejak pengisian komisioner.

Sejauh ini argumentasi yang sering didengar kelompok yang mendukung kehadiran perppu, pejabat sementara (pjs) berbeda dengan komisioner. Karena itu, presiden dapat menunjuk pjs karena bukan menunjuk komisioner. Argumentasi itu terasa amat aneh karena bagaimanapun pjs yang diangkat presiden akan menjalankan semua kewenangan yang dimiliki komisioner. Makna, meski hadir dengan status pjs, kewenangan yang dijalankan adalah kewenangan komisioner.

Hal lain yang sering dilupakan, dengan membiarkan presiden menunjuk langsung komisioner sementara, eksistensi KPK sebagai lembaga independen bisa berubah menjadi komisi negara atau berubah menjadi lembaga eksekutif. Dalam kasus yang menimpa KPK, karena jumlah pjs komisioner lebih banyak daripada komisioner yang dipilih melalui mekanisme normal, meski tetap dengan sebutan komisi independen, dalam praktik amat mungkin KPK menjadi lembaga eksekutif.

Menjadi preseden

Keempat, dalam jangka panjang, membenarkan katup penunjukan komisioner yang dimulai dari penerbitan perppu dapat menjadi preseden bagi presiden-presiden berikut untuk mengintervensi lembaga-lembaga independen, termasuk KPK. Bisalah dengan segala tekanan dan kritik, Presiden Yudhoyono mau menunjuk pjs yang kredibel. Namun, tidak ada jaminan jika langkah serupa dilakukan presiden-presiden ke depan.

Dengan penerbitan perppu, jika kelak di antara presiden merasa terganggu dengan langkah pemberantasan korupsi KPK, bukan tidak mungkin presiden membuat skenario menjadikan pimpinan KPK, lalu menerbitkan perppu untuk menunjuk sendiri pimpinan KPK yang baru.

Dengan bahaya itu, perppu yang memungkinkan presiden menunjuk langsung pelaksana tugas pimpinan KPK bukan pilihan bijak. Lalu, haruskah bertahan dengan pilihan demikian di tengah ancaman korupsi yang kian menggurita?

Saldi Isra Dosen Hukum Tata Negara dan Direktur Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang

Tidak ada komentar: