24 September 2009

"Katarsis" Legislasi di Akhir Jabatan

Oleh : M. Hadi Shubhan

Kamis, 24 September 2009

ADA fenomena menarik yang selalu terulang di akhir masa jabatan anggota DPR, yakni menggelontorkan pengesahan undang-undang (UU). Upaya pembersihan atau "katarsis" dengan cara menggelontorkan UU tersebut bisa terjadi karena dua kemungkinan. Pertama, terjadi karena rasa tanggung jawab anggota DPR yang akan mengakhiri masa jabatan. Kedua, menggunakan aji mumpung, mumpung masih menjabat. Yakni, walaupun sudah mencapai saat-saat akhir jabatan, para anggota itu tetap memaksimalkan kekuasaan untuk menjadi "juragan sapi" dengan "dagang sapi" kebijakan. Hitung-hitung kejar setoran buat sangu pensiun.

Belum lekang dalam ingatan kita, anggota DPR periode sebelumnya, yakni 1999-2004, di akhir jabatan pada 2004 mengesahkan UU lebih dari 40. Padahal, jumlah UU pada tahun sebelumnya hanya separonya. Itu merupakan bukti bahwa di akhir jabatan tersebut justru terjadi peningkatan pengesahan UU. Kuantitas UU memang melonjak tajam. Tetapi, kualitas UU malah sebaliknya, turun tajam. Bagaimana mungkin segi kualitas diperhatikan? Banyak UU tahun 2004 yang dibahas hanya dalam hitungan hari, kemudian langsung disahkan.

Dalam sebuah uji materiil di Mahkamah Konstitusi (MK), yakni pengujian UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris, terungkap indikasi suap atas pembuatan UU tersebut. Namun, MK menyatakan bahwa kasus suap-menyuap dalam proses legislasi bukan kewenangannya karena masuk ke ranah pidana.

Terdapat banyak UU tahun 2004 yang bermasalah. Bahkan, terdapat kesalahan fatal dan prinsipiil. Contohnya UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, UU No 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, UU No 30 Tahun 2004tentang Jabatan Notaris, UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, UU No 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan PKPU, serta UU No 39 Tahun 2004 tentang Perlindungan TKI.

Dalam UU Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial dan UU Kepailitan terdapat kesalahan fatal. Pada dua UU itu ada ketentuan tentang pembentukan pengadilan, yakni pengadilan hubungan industrial dan pengadilan niaga. Padahal, sesuai dengan konstitusi (pasal 24 A (5) UUD 1945), dikatakan pembentukan sebuah peradilan di lingkungan MA harus dengan undang-undang, bukan dalam undang-undang. Dua pengadilan tersebut dibentuk dalam UU, tidak dengan UU, sehingga bertentangan dengan konstitusi alias inkonstitusional.

Pada UU Jabatan Notaris juga terdapat banyak problem. Salah satunya adalah pasal 15 ayat 2 yang memberikan kewenangan lain kepada notaris, yakni membuat akta risalah lelang. Padahal, risalah lelang merupakan wewenang pejabat lelang (vendumeester) sebagaimana diatur dalam peraturan lelang (Vendu Reglement S. 1908-189). Kewenangan membuat akta otentik sudah diberikan secara khusus kepada pejabat lain. Maka, notaris tidak berwenang membuat akta tersebut (vide pasal 15 ayat 1 UU JN). Tetapi, kenapa pasal 15 ayat 2 mengingkari pasal 15 ayat 1? Sebuah UU yang contradictio in terminis. Sebuah keteledoran yang fatal ataukah kesengajaan ka­rena sebuah keserakahan?

UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara juga masih menyisakan perdebatan panjang sampai saat ini. Dua UU tersebut mengatur cakupan keuangan negara. Termasuk di dalamnya kekayaan negara yang sudah dipisahkan, misalnya kekayaan BUMN dan BHMN. Padahal, secara filosofi, kekayaan negara yang sudah dipisahkan bukan kekayaan negara la­gi, melainkan kekayaan subjek hukum penerima kekayaan negara, seperti BUMN dan BHMN. Perdebatan panjang itu menyisakan suatu ketidakpastian hingga saat ini.

***

Pada akhir periode jabatan anggota DPR 2004-2009 yang tinggal menghitung hari, terjadi fenomena yang sama. Pada bulan-bulan terakhir ini, banyak disahkan UU baru yang juga menimbulkan banyak kontroversi di dalamnya. Belum lama ini telah disahkan UU Perubahan Mahkamah Agung, UU Perfilman, UU Rahasia Negara yang ditunda karena intervensi presiden, UU Ketenagalistrikan, serta UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Jika tidak ada aral melintang, DPR nekat mengesahkan UU KPK yang isinya bakal mengamputasi kewenangan KPK.

Sejatinya, pembentukan suatu UU harus mengikuti prosedur yang ditentukan dalam UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Dalam UU tersebut, diatur program legislasi nasional (prolegnas). Prolegnas merupakan satu rangkaian proses penting dalam sistem legislasi. Dengan disusunnya suatu prolegnas, prioritas dan target penyelesaian suatu UU menjadi terarah dan pasti. Dalam praktik, meskipun sudah ditetapkan prolegnas yang berisi RUU apa saja yang harus diselesaikan, sering terjadi RUU nyelonong dan disahkan. Padahal, itu tidak masuk dalam prolegnas.

Tidak dipatuhinya prolegnas dapat mengakibatkan tidak adanya urutan prioritas pembuatan UU. Sehingga, pembuatan UU yang penting dan berimplikasi kompleks justru hanya akan mendapatkan porsi waktu yang sedikit. Akibatnya, kualitas substansinya menurun.

Kualitas UU kita diperparah dengan kualitas anggota DPR yang berlatar belakang beragam, yang kurang linier dengan tugasnya sebagai legislator. Misalnya, berapa banyak anggota DPR yang berlatar belakang artis? Mereka bukan tidak mampu menjalankan tugas sebagai legislator, tetapi tempat mereka bukan di situ.

Upaya penggelontoran pengesahan UU di akhir jabatan DPR melanggar fatsun politik. Usaha penggelontoran penyelesaian dan pengesahan RUU sering diduga sebagai salah satu modus korupsi kebijakan di bidang legislasi atau penyelundupan kepentingan tertentu. Sehingga, tidak mengherankan kualitas legislasi Indonesia sangat memprihatinkan. Begitulah nasib kebijakan publik di negeri sarang penyamun ini. (*)

Dr M. Hadi Shubhan SH MH CN, dosen fakultas hukum dan sekretaris Unair

Tidak ada komentar: