21 Maret 2010

Apa Tipe Hubungan Anda Dalam Perkawinan?


Kompas - Minggu, 21 Maret

oleh:M.M Nilam Widyarini M.Si
Kandidat Doktor Psikologi

JAKARTA, KOMPAS.com - Alasan utama yang mendasari sebuah perkawinan adalah untuk memiliki teman hidup yang dicintai dan mendapatkan kepuasan psikologis dari hubungan tersebut. Kenyataannya, perkembangan perkawinan dapat menuju ke berbagai arah, sehingga ada berbagai tipe hubungan dalam perkawinan.

Untuk apa menikah? Setiap orang dapat memiliki jawaban berbeda-beda atas pertanyaan tersebut. Mungkin alasannya ekonomi, yakni untuk menjamin kelangsungan hidup secara materi. Itu sebabnya kita menemukan perkawinan yang pertimbangan utamanya adalah kekayaan calon pasangan.



Alasan-alasan lain yang dapat kita temukan antara lain demi mendapatkan keturunan, demi status sosial, demi cinta, dan sebagainya. Namun, alasan yang paling umum mendasari keputusan seseorang untuk menikah adalah untuk memiliki teman hidup yang dicintai dan mendapatkan kepuasan psikologis dari hubungan tersebut.

Meskipun di samping alasan tersebut mungkin juga ada pertimbangan ekonomi atau status sosial, pemenuhan kebutuhan psikologis akan adanya pasangan hidup (companionship) biasanya menjadi tujuan utama. Dengan tujuan utama seperti ini, seseorang akan merasa hidupnya bahagia bila menemukan kepuasan dalam relasi perkawinan.

Sayang sekali tujuan untuk memiliki relasi perkawinan yang hangat, terbuka, saling menghargai, kehidupan seks yang harmonis, komitmen jangka panjang, itu semua lebih mudah diimpikan, tetapi tidak mudah untuk diwujudkan.

Tidak semua pasangan yang memiliki tujuan atau nilai-nilai tersebut dapat meraihnya dengan cara yang sama dan dalam tingkat pencapaian yang sama pula. Alhasil, terdapat bermacam-macam tipe hubungan dalam perkawinan.

Tipologi Relasi
William Lederrer & Don Jackson (dalam Atwater, 1983) mengklasifikasi perkawinan ke dalam dua dimensi: puas/tidak puas dan stabil/labil. Menurut mereka, pada umumnya perkawinan termasuk dalam kategori puas dan labil, yakni terdapat komitmen yang kuat terhadap perkawinan, tetapi kadang-kadang mengalami stres, ketidaksepakatan, dan pertengkaran.

Di sisi lain, perkawinan yang berakhir dengan perceraian atau dihiasi permasalahan berat, biasanya memiliki relasi yang tak memuaskan dan tidak stabil, ditandai dengan adanya konflik berkelanjutan dan saling menyakiti.

Tipologi relasi perkawinan yang lebih populer adalah dari studi yang dihasilkan oleh Cuber & Harroff. Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap 100 pasangan yang telah menikah lebih dari sepuluh tahun dan tidak terancam perceraian serius, mereka lantas menglasifikasi pasangan yang diteliti.

Menurut Cuber & Harroff, secara keseluruhan terdapat enam klasifikasi atau tipe hubungan dalam perkawinan.

1. Conflict-habituated
Tipe hubungan conflict-habituated adalah tipe pasangan yang jatuh dalam kebiasaan mengomel dan bertengkar. Kebiasaan ini menjadi semacam jalan hidup bagi mereka, sehingga secara konstan selalu menemukan ketidaksepakatan. Jadi, stimulasi perbedaan individu dan konflik justru mendukung kebersamaan pasangan tersebut. Kadang didukung oleh kehidupan seks yang memuaskan.

2. Devitalized
Tipe hubungan devitalized merupakan karakteristik pasangan yang sekali waktu dapat mengembangkan rasa cinta, menikmati seks, dan satu sama lain saling menghargai. Namun, mereka cenderung mengalami kekosongan perkawinan dan tetap bersama-sama, terutama demi anak dan posisi mereka dalam komunitas.
Cukup menarik, karena pasangan dengan tipe ini tak merasa bahwa dirinya tidak bahagia. Mereka berpikir bahwa keadaan yang dialami merupakan hal biasa setelah tahun-tahun penuh gairah dilampaui. Sayang sekali bahwa tampaknya ini merupakan tipe yang paling umum dalam perkawinan.

3. Passive-congenial
Pasangan dengan tipe passive-congenial sama dengan pasangan tipe devitalized, tetapi kekosongan perkawinan itu telah berlangsung sejak awal. Perkawinan seperti ini seringkali disebabkan perkawinan lebih didasari kalkulasi ekonomi atau status sosial, bukan karena hubungan emosional.

Seperti pasangan tipe devitalized, hanya sedikit keterlibatan emosi, tidak terlalu menghasilkan konflik, tetapi juga kurang puas dalam perkawinan. Nyatanya, pasangan-pasangan ini lebih banyak saling menghindar, bukannya saling peduli.

4. Utilitarian
Berbeda dengan tipe-tipe yang lain, tipe utilitarian ini lebih menekankan pada peran daripada hubungan. Terdapat perbedaan sangat kontras, terutama bila dibandingkan dengan dua tipe terakhir (vital dan total) yang bersifat intrinsik, yaitu yang mengutamakan relasi perkawinan itu sendiri.

5. Vital
Tipe vital ini merupakan salah satu dari tipe hubungan perkawinan dengan ciri pasangan-pasangan terikat satu sama lain, terutama oleh relasi pribadi antara yang satu dengan yang lain. Di dalam relasi tersebut, satu sama lain saling peduli untuk memuaskan kebutuhan psikologis pihak lain, dan saling berbagi dalam melakukan berbagai aktivitas.

Pada tipe ini masing-masing pribadi memiliki identitas pribadi yang kuat. Di dalam komunikasi mereka terdapat kejujuran dan keterbukaan. Bila terdapat konflik biasanya karena hal-hal yang sangat penting dan dapat diatasi dengan cepat. Ini merupakan tipe perkawinan yang paling memuaskan. Sayang sekali tipe ini paling sedikit kemungkinannya.

6. Total
Tipe ini memiliki banyak kesamaan dengan tipe vital. Bedanya, pasangan-pasangan ini menjadi “satu daging” (one flesh). Mereka selalu dalam kebersamaan secara total, sehingga meminimalisasi adanya pengalaman pribadi dan konflik. Tidak seperti pada tipe devitalized, kesepakatan biasanya dilakukan demi hubungan itu sendiri. Tipe perkawinan seperti ini sangat jarang.

Mengupayakan Kebahagiaan
Tidak terlalu berguna bila kita menerapkan tipologi hubungan perkawinan ini untuk orang lain. Manfaat utama yang dapat kita petik adalah dengan menengok pada perkawinan kita masing-masing.

Dengan mencoba mencari kesesuaian hubungan perkawinan kita dengan salah satu dari enam tipe yang telah diuraikan di atas, kita dapat bercermin seperti apakah perkembangan relasi perkawinan kita.

Apakah kita memiliki ciri-ciri hubungan dengan tipe vital? Bila ya, berbahagialah kita karena menemukan kepuasan dalam perkawinan. Bila kenyataannya lain, berarti sudah saatnya mengupayakan kebahagiaan perkawinan yang telah dibina.

Apakah yang perlu diusahakan? Tidak lain dengan melakukan penyesuaian diri dalam beberapa hal: penyesuaian peran, dalam komunikasi dan konflik, dalam kehidupan seks, dan dalam menghadapi perubahan-perubahan (Atwater, 1983).

Penyesuaian dalam peran
Untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan, kedua belah pihak harus terus-menerus kembali menyesuaikan diri (readjusting) dalam memahami apa yang dapat diharapkan satu sama lain secara rasional dari peran masing-masing. Hal yang paling penting adalah memperbesar fleksibilitas dalam meletakkan harapan peran terhadap pasangan masing-masing.

Harapan yang terlalu kaku dan tidak realistis (misalnya mengharapkan istri harus pandai memasak atau suami harus mencukupi semua kebutuhan finansial) tentu akan menimbulkan kekecewaan. Sharing atau berbagi peran perlu dilakukan, misalnya istri ikut ambil bagian untuk mencari nafkah. Di sisi lain, suami juga ambil bagian dalam pengasuhan anak dan urusan domestik lainnya.

Dalam komunikasi dan konflik
Perkawinan yang bahagia selalu ditunjang oleh komunikasi yang efektif: membicarakan berbagai persoalan, memahami apa yang didengar dengan baik, sensitif terhadap perasaan pihak lain, dan menggunakan ekspresi nonverbal di samping komunikasi verbal, tidak menyalahartikan pesan emosi pasangan. Pasangan tidak bahagia biasanya karena cenderung mendistorsi (menyalahartikan) pesan-pesan verbal maupun nonverbal secara negatif.

Konflik dalam perkawinan dapat berkembang karena kesalahan komunikasi, ketidakserasian hubungan seks, masalah keuangan, anak, dan sebagainya. Untuk mengatasi konflik-konflik tersebut, yang penting adalah bagaimana mengelolanya.
Yang terbaik adalah menghadapi konflik, bukan menghindarinya. Perlu diyakini bawa perbedaan dan konflik adalah hal yang biasa terjadi dalam perkawinan. Dengan itu kita dapat belajar bagaimana mengatasi melalui cara yang disepakati, sehingga dua belah pihak dapat tumbuh semakin matang.

Dalam relasi seksual
Baik pria maupun wanita memiliki kebutuhan seksual yang berbeda-beda, dan kepuasan yang diharapkan juga berbeda-beda. Karena itu, yang diperlukan adalah keterbukaan satu sama lain untuk menemukan keserasian.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah membangun kedekatan dan rasa aman dengan pasangan. Kebanyakan pasangan mengalami kenikmatan intercourse karena kedekatan dan rasa aman tersebut.

Dalam menghadapi perubahan
Dengan berjalannya waktu, dengan kehadiran anak, dan lain-lain, pada umumnya pasangan-pasangan mengalami penurunan gairah. Mereka mengalami devitalized: persoalan berkurang, tetapi juga semakin kurang mengekspresikan cinta.
Namun, terdapat pengecualian: mereka yang tetap saling terbuka dan menjaga kebersamaan justru semakin menunjukkan rasa cinta bila dibanding dengan masa-masa awal perkawinan. @

Mahfud MD siap bantu ungkap MARKUS


Liputan6.com, Solo: Meski menegaskan tidak berwenang mengungkap kontroversi mafia kasus atau markus di tubuh Polri, Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan siap memberikan bantuan apabila diminta. Hal itu disampaikan Mahfud setelah menghadiri pengajian akbar Majelis Dakwah Indonesia di Solo, Jawa Tengah.

Pernyataan mantan Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Polisi Susno Duadji tentang adanya markus di tubuh Polri menjadi alasan kesediaan Mahfud untuk mengungkap kebenaran atas tudingan Susno. Terlebih, jelas Mahfud, tudingan semacam itu memang sudah kerap terdengar. Ia menambahkan, tudingan itu justru bisa dijadikan momentum bagi pembenahan Polri.

Sebelumnya, Susno mengungkap sejumlah petinggi Polri diduga menjadi markus dalam korupsi perpajakan senilai Rp 25 miliar. Bahkan, ia menunjuk dua jenderal terlibat dalam kasus ini. Namun, hal ini dibantah Brigadir Jenderal Edmond Ilyas dan Brigjen Raja Erizman, dua jenderal yang dituding Susno menjadi markus [baca: Mabes Polri Ambil Langkah Hukum Terhadap Susno].(BOG)

02 Maret 2010

Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dibawa ke MK


Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dibawa ke MK

Sumber: www.hukumonline.com | (1/3)

Persoalan dualisme penyelesaian sengketa perbankan akhirnya bermuara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah Dosen Universitas Islam Indonesia, Dadan Muttaqien yang meminta MK agar menyelesaikan persoalan yang sempat membingungkan para praktisi perbankan syariah itu. Dadan mengajukan permohonan judicial review UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman .

Ketentuan yang diuji adalah penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah serta penjelasan Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman. Ketiga peraturan ini mengatur penyelesaian sengketa perbankan syariah diselesaikan melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum.

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah menyebutkan secara opsional penyelesaian sengketa yang bisa dipilih oleh para pihak. Yakni, a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan huruf d ini dianggap bisa menjadi persoalan di kemudian hari.

Padahal, lanjut Dadan, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyatakan sebaliknya. Yang mempunyai kewenangan untuk menangani perkara ekonomi syariah yang di dalamnya termasuk perkara sengketa perbankan syariah adalah Peradilan Agama. Artinya, terdapat dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah, di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.


“Adanya kompetensi peradilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum dalam bidang perbankan syariah selain menunjukan adanya reduksi, juga mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi,” ujar Dadan saat membacakan permohonan di ruang sidang MK, Senin (1/3).

Dadan menilai adanya choice of forum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah -berdasarkan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah- menunjukan adanya inkonsistensi pembentuk undang-undang dalam merumuskan aturan hukum. Di samping itu, lanjutnya, keberadaan choice of forum itu akan sangat berpengaruh pada daya kompetensi peradilan agama.

Meski yang diajukan terhadap objek yang sama, Hakim Konstitusi Akil Mochtar menyarankan agar pemohon membuatnya menjadi dua permohonan. Pasalnya, terdapat perbedaan antara UU Perbankan Syariah dan UU Kekuasaan Kehakiman. “Ini dua Undang-Undang yang berbeda. Landasan yuridis dan filosofis masing-masing Undang-Undang tersebut berbeda,” tuturnya.

Selain itu, Akil menyarankan agar pemohon memfokuskan diri pada kapasitas pemohon dalam permohonan ini. Menurutnya, hal tersebut akan memperjelas kedudukan hukum atau legal standing Dadan sebagai pemohon dalam pengujian dua UU tersebut.

Dalam permohonannya, Dadan memang bertindak atas nama tiga profesi, yakni selaku dosen, Arbiter Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Kepala Pusat Konsultasi Bantuan Hukum Islam UII. “Anda pilih saja kerugian konstitusionalnya yang paling tepat,” ujar Akil.

Berdasarkan catatan hukumonline, penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah memang sempat menuai kritikan dari para pemangku kepentingan. Bahkan, dalam Pasal 55 ayat (1) UU yang sama secara tegas menyebutkan 'Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama'.

Kala itu, Hakim Agung Abdul Gani Abdullah mengakui pasal tersebut menimbulkan contradictio in terminis (berlawanan arti). Di satu sisi, seluruh sengketa diselesaikan di pengadilan agama (PA), tapi di sisi lain membuka kesempatan kepada pengadilan negeri (PN). Padahal keduanya memiliki kompetensi absolut berbeda.

Abdul Gani memprediksi persoalan ini bisa menimbulkan sengketa kewenangan antar lembaga peradilan. Meski mengakui ada dualisme, Abdul Gani meminta agar para stakeholders tak perlu panik. “Itu bisa diserahkan ke MA,” tuturnya.

Salah satu kewenangan MA dalam UU Mahkamah Agung adalah memutus bila ada sengketa kewenangan antar peradilan. Peranan inilah yang akan dimainkan oleh MA. “Hakim MA bisa menetapkan hukum. Yang benar yang mana. Nanti bisa jadi yurisprudensi,” ujarnya lagi.

Uniknya lagi, mantan Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Perbankan Syariah Harry Azhar mengakui adanya kesalahan. Namun, ia buru-buru mengklarifikasi bahwa yang mempunyai kekuatan hukum adalah isi pasal, bukan penjelasan. “Jangan anda balik-balik begitu,” tegasnya kepada hukumonline pada pertengahan tahun lalu.