02 Maret 2010

Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dibawa ke MK


Dualisme Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Dibawa ke MK

Sumber: www.hukumonline.com | (1/3)

Persoalan dualisme penyelesaian sengketa perbankan akhirnya bermuara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Adalah Dosen Universitas Islam Indonesia, Dadan Muttaqien yang meminta MK agar menyelesaikan persoalan yang sempat membingungkan para praktisi perbankan syariah itu. Dadan mengajukan permohonan judicial review UU No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman .

Ketentuan yang diuji adalah penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah serta penjelasan Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 59 ayat (3) UU Kekuasaan Kehakiman. Ketiga peraturan ini mengatur penyelesaian sengketa perbankan syariah diselesaikan melalui pengadilan di lingkungan peradilan umum.

Penjelasan Pasal 55 ayat (2) UU Perbankan Syariah menyebutkan secara opsional penyelesaian sengketa yang bisa dipilih oleh para pihak. Yakni, a. Musyawarah; b. Mediasi perbankan; c. Melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) atau lembaga arbitrase lain; dan/atau d. Melalui pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Ketentuan huruf d ini dianggap bisa menjadi persoalan di kemudian hari.

Padahal, lanjut Dadan, UU No. 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama menyatakan sebaliknya. Yang mempunyai kewenangan untuk menangani perkara ekonomi syariah yang di dalamnya termasuk perkara sengketa perbankan syariah adalah Peradilan Agama. Artinya, terdapat dualisme penyelesaian sengketa perbankan syariah, di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.


“Adanya kompetensi peradilan dalam lingkungan peradilan agama dan peradilan umum dalam bidang perbankan syariah selain menunjukan adanya reduksi, juga mengarah pada dualisme kompetensi mengadili oleh dua lembaga litigasi,” ujar Dadan saat membacakan permohonan di ruang sidang MK, Senin (1/3).

Dadan menilai adanya choice of forum dalam penyelesaian sengketa perbankan syariah -berdasarkan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah- menunjukan adanya inkonsistensi pembentuk undang-undang dalam merumuskan aturan hukum. Di samping itu, lanjutnya, keberadaan choice of forum itu akan sangat berpengaruh pada daya kompetensi peradilan agama.

Meski yang diajukan terhadap objek yang sama, Hakim Konstitusi Akil Mochtar menyarankan agar pemohon membuatnya menjadi dua permohonan. Pasalnya, terdapat perbedaan antara UU Perbankan Syariah dan UU Kekuasaan Kehakiman. “Ini dua Undang-Undang yang berbeda. Landasan yuridis dan filosofis masing-masing Undang-Undang tersebut berbeda,” tuturnya.

Selain itu, Akil menyarankan agar pemohon memfokuskan diri pada kapasitas pemohon dalam permohonan ini. Menurutnya, hal tersebut akan memperjelas kedudukan hukum atau legal standing Dadan sebagai pemohon dalam pengujian dua UU tersebut.

Dalam permohonannya, Dadan memang bertindak atas nama tiga profesi, yakni selaku dosen, Arbiter Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas) dan Kepala Pusat Konsultasi Bantuan Hukum Islam UII. “Anda pilih saja kerugian konstitusionalnya yang paling tepat,” ujar Akil.

Berdasarkan catatan hukumonline, penjelasan Pasal 55 ayat (2) huruf d UU Perbankan Syariah memang sempat menuai kritikan dari para pemangku kepentingan. Bahkan, dalam Pasal 55 ayat (1) UU yang sama secara tegas menyebutkan 'Penyelesaian sengketa perbankan syariah dilakukan oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan agama'.

Kala itu, Hakim Agung Abdul Gani Abdullah mengakui pasal tersebut menimbulkan contradictio in terminis (berlawanan arti). Di satu sisi, seluruh sengketa diselesaikan di pengadilan agama (PA), tapi di sisi lain membuka kesempatan kepada pengadilan negeri (PN). Padahal keduanya memiliki kompetensi absolut berbeda.

Abdul Gani memprediksi persoalan ini bisa menimbulkan sengketa kewenangan antar lembaga peradilan. Meski mengakui ada dualisme, Abdul Gani meminta agar para stakeholders tak perlu panik. “Itu bisa diserahkan ke MA,” tuturnya.

Salah satu kewenangan MA dalam UU Mahkamah Agung adalah memutus bila ada sengketa kewenangan antar peradilan. Peranan inilah yang akan dimainkan oleh MA. “Hakim MA bisa menetapkan hukum. Yang benar yang mana. Nanti bisa jadi yurisprudensi,” ujarnya lagi.

Uniknya lagi, mantan Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Perbankan Syariah Harry Azhar mengakui adanya kesalahan. Namun, ia buru-buru mengklarifikasi bahwa yang mempunyai kekuatan hukum adalah isi pasal, bukan penjelasan. “Jangan anda balik-balik begitu,” tegasnya kepada hukumonline pada pertengahan tahun lalu.

Tidak ada komentar: