19 Januari 2010

MA Pertegas Posisi Saudara Kandung sebagai Ahli Waris

MA Pertegas Posisi Saudara Kandung sebagai Ahli Waris
[Senin, 18 January 2010]
Salah satu perkara yang diputus menyangkut warisan satu keluarga yang menjadi korban tsunami di Aceh.
Salah satu topik yang dibahas dalam Rakernas Mahkamah Agung Oktober 2009 adalah hukum kewarisan yang telah mengalami banyak perkembangan. Jumlah perkara waris yang masuk ke Mahkamah Agung terus bertambah. Meskipun aturan waris Islam sudah punya pijakan yang jelas, dalam praktik masih saja terjadi sengketa. Termasuk sengketa antar saudara sekeluarga.
Berdasarkan aturan waris Islam, saudara kandung almarhum adalah ahli waris jika pewaris tidak memiliki keturunan dan tidak memiliki ahli waris dalam garis lurus ke atas. Jika suami meninggal dunia dan tidak memiliki keturunan, maka yang menjadi ahli waris adalah isteri dan saudara-saudaranya.
Pasal 179-181 Kompilasi Hukum Islam juga menegaskan hal serupa. Duda mendapat separoh bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Dan bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian. Janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak, dan bila pewaris meninggalkan anak, maka janda mendapat seperdelapan bagian. Bila seseorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat seperenam bagian. Bila mereka dua orang atau lebih, maka mereka bersama-sama mendapat sepertiga bagian.
Mahkamah Agung sudah beberapa kali memutus perkara sejenis. Mahkamah Agung terus mempertegas sistim pewarisan saudara itu. Yang terbaru ada dalam putusan yang belum lama dijatuhkan majelis hakim agung beranggotakan H. Abdul Manan, H. Hamdan, dan H. Mukhtar Zamzami. Salinan perkara kasasi No. 191 K/AG/2008 itu diketahui sudah diterima para pihak.



Dalam salinan putusan yang diperoleh hukumonline, MA menetapkan delapan orang saudara seayah seibu almarhumah Roslia Siregar sebagai ahli waris, disamping suami pewaris. Lima orang saudara sekandung laki-laki masing-masing mendapatkan 2/26 bagian harta waris, sedangkan tiga orang saudari perempuan pewaris mendapat masing-masing 1/26 bagian. Makmur Siregar, suami pewaris, mendapat 13/26 bagian.
Dalam perkara ini MA membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Medan dan mengadili sendiri. Judex facti dinilai salah menerapkan hukum. Keterangan saksi dari penggugat justru didukung bukti yang diajukan tergugat. Lagipula, hasil pemeriksaan lapangan tidak dibantah tergugat. Dalam perkara ini, saudara-saudara sekandung pewaris menggugat suami almarhumah.
Kepada hukumonline, seorang penggugat menyatakan bahwa putusan MA tersebut sudah berkekuatan hukum tetap, dan sudah dilaksanakan kedua belah pihak. Para penggugat mendapatkan uang dari penjualan harta warisan, dikurangi utang-utang pewaris.

Utang pewaris
Dalam perkara No. 191 K/AG/2008 tersebut, pengadilan menegaskan utang-utang pewaris bersama suami harus dibayar terlebuh dahulu sebelum pembagian warisan dilakukan. Kewajiban ahli waris membayar utang pewaris bukan hanya berlaku dalam hukum waris Islam.

Dalam yurisprudensi perkara No. 180 K/Pdt/1993 (Bank Surya Nusantara Cabang Pemangsiantar vs ahli waris Tjioe A Tjong alias Tjio Joen Foek alias Mulia Zein), Mahkamah Agung memutuskan menghukum para tergugat selaku ahli waris almarhum secara tanggung renteng membayar utang almarhum kepada penggugat beserta bunganya. Setelah utang pewaris lunas, barulah harta waris dibagi secara proporsional.

Waris pasca tsunami

Masalah waris juga timbul sebagai ekses kematian banyak warga Nanggroe Aceh Darussalam dalam tragedi tsunami 26 Desember 2004. Salah satu korban bencana alam tersebut adalah M. Jamil Fatimah. Jamil beserta isterinya, Halimah, dan anaknya Rahmawati turut menjadi korban. Semasa hidupnya keluarga ini memiliki aset yang lumayan banyak, termasuk aset-aset yayasan pendidikan.
Oleh karena Jamil sekeluarga meninggal dunia, maka ahli warisnya adalah saudara berhubung orang tuanya juga sudah meninggal dunia. Jamil mempunyai satu orang sudara seayah (H. Tjut Ali Umar) yang sudah wafat terlebih dahulu. Ali Umar memiliki delapan orang anak. Selain Ali Umar, almarhum Jamil memiliki dua orang saudara seibu.
Sang isteri, Halimah binti Ismail, memiliki dua saudara yakni Nyak Kaoy dan Maimunah. Total, ada 12 orang yang berhak menjadi ahli waris berdasarkan garis persaudaraan.
Dalam perkembangannya, timbul sengketa antara sejumlah keturunan pewaris (Zukhri Mauluddinsyah bin H. Tjut Ali Umar dkk) melawan dua orang warga Pidie, Habibah binti Mahmud dan M. Daud Fatimah. Sebagian besar harta pewaris di bawah penguasaan kedua tergugat. Kedua tergugat sudah diminta menyerahkan harta tersebut tetapi hingga perkara dibawa ke Mahkamah Syariah, sebagian aset tetap di bawah penguasaan tergugat. Mahkamah Syariah Banda Aceh dalam putusannya menyatakan gugatan tidak dapat diterima. Mahkamah Syariah Provinsi meralat putusan tersebut dengan amar menolak gugatan penggugat seluruhnya. Pada pertengahan 2009 lalu, Mahkamah Agung juga menolak permohonan kasasi dari para penggugat.
Dalam pokok perkara, tergugat memang mempersoalkan hubungan persaudaraan para penggugat dengan pewaris. Tidak dijelaskan apakah pewaris Halimah binti Ismail adalah saudara sekandung seayah atau seibu dengan Nyak Kaoy dan Maimunah. Tergugat menggunakan argumentasi hubungan darah para ahli waris dengan pewaris. Lantaran tidak jelas bagaimana dan kapan hubungan darah persaudaraan itu terjalin, tergugat menyatakan gugatan penggugat kabur.
Mys

Tidak ada komentar: